LAPORAN PRAKTIKUM & PEMBAHASAN PENETAPAN KADAR Fe(III) Amonium Sulfat DENGAN METODE IODOMETRI
LAPORAN
PRAKTIKUM KIMIA ANALISIS
PENETAPAN KADAR BESI(III)
AMMONIUM SULFAT ANHIDRAT DENGAN METODE IODOMETRI
Oleh: Nurshasa Awalia
I. TUJUAN PERCOBAAN
Mahasiswa dapat
megetahui dan memahami prinsip penetapan kadar Fe(III) Ammonium Sulfat Anhidrat
dengan metode iodometri.
II. DASAR TEORI
Prinsip dasar dari
iodometri adalah titrasi reduksi-oksidasi (redoks) yang berdasarkan pada adanya
perpindahan elektron yang terjadi antara titran dengan analis. Jenis titrasi
ini biasanya menggunakan potensiometri untuk mendeteksi titik akhirnya. Namun
demikian, penggunaan indikator yang dapat berubah warna saat kelebihan titran
juga sering digunakan.
Titrasi yang melibatkan
Iodium dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu titrasi langsung (iodimetri) dan
titrasi tidak langsung (iodometri) (Rohman, 2007).
Dalam Farmakope
Indonesia, titrasi iodimetri digunakan untuk menetapkan kadar asam askorbat,
natrium tiosulfat, metampiron (antalgin), serta sediaan-sediaan injeksi.
Sedangkan titrasi Iodometri digunakan untuk penetapan kadar Cu(II) Sulfat, Fe(III)
Ammonium Sulfat, penetapan kadar rivanol, ampisilin dalam kapsul dan tablet
(Gholib, 2007).
Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam titrasi iodimetri maupun iodometri yakni:
1. Oksigen
error, terjadi jika dalam larutan asam, maka oksigen dari udara akan mengoksidasi
Iodida menjadi Iod (kesalahan makin besar dengan meningkatnya asam). Oksigen di
udara dapat menyebabkan hasl titrasi terlalu tinggi. Reaksi yang terjadi:
O2
+ 4I- + 4H+→2I2 + 2H2O
2. Pemberian
kanji terlalu awal akan menyebabkan Iod menguraikan amilum dan hasil peruraian
mengganggu perubahan warna pada titik akhir titrasi.
3. Penambahan
KI harus berlebih karena I2 yang terbentuk bersifat sukar larut
dalam air tetapi udah larut dalam KI.
4. Larutan
thiosulfat dalam suasana yang sangat asam dapat menguraikan larutan thiosulfat
menjadi belerang dan bpada suasana basa (pH > 9) thiosulfat menjadi ion
sulfat.
5. Pada
pH lain muncul bahaya lain yaitu bereaksinya I2 yang terbentuk
dengan air (hidrolisa) dan hasil reaksinya berlanjut menjadi:
4
× (I2 + H2O→HOI + I- + H+)
4
HOI + S2O32- + H2O→2SO42- + 4I-
+ 6H+
6. Banyak
reaksi analit dengan KI yang berjalan agak lambat.
(Harjadi, 1993)
IODOMETRI DENGAN Na2S2O3
SEBAGAI TITRAN
(TITRASI TIDAK LANGSUNG)
Pada
metode ini analit harus merupakan oksidator yang cukup kuat karena dalam metode
ini analit selalu direduksi dulu dengan KI sehingga terbentuk I2. I2 inilah
yang dititrasi dengan Na2SO3. Reaksi yang terjadi yaitu:
Oksanalit
+ I-→Redanalit + I2
2S2O32-
+ I2 → S4O62- +
2I-
Daya
reduksi ion iodida cukup besar dan reaksi S2O32- dengan
I2 berlangsung baik dari segi kesempurnaannya berdasarkan potensial
redoksnya masing-masing:
S4O62-
+ 2e → 2S2O32- Eo=
0,080 volt
I2
+ 2e → 2I- Eo=
0,536 volt
Titrasi
dapat dilakukan tanpa indikator dari luar karena warna I2 yang
dititrasi tersebut akan lenyap bila titik akhir tercapai, warnanya mula-mula
coklat agak tua menjadi lebih muda lalu kuning, kuning muda, dan seterusnya
sampai akhirnya lenyap (Harjadi, 1993).
Namun
akan lebih mudah dan lebih tegas bila ditambahkan amilum ke dalam larutan
sebagai indikator. Amilum dengan I2 membentuk suatu kompleks berwarna biru tua
yang masih sangat jelas sekalipun sedikit sekali. Pada titik akhir, iod yang
terikat itupun hilang beraksi dengan titran sehingga warna biru lenyap mendadak
dan perubahan warnanya tampak sangat jelas (Harhadi, 1993).
Larutan
standar yang digunakan dalam kebanyakan proses iodometri adalah Natrium
Thiosulfat, garam ini biasanya berbentuk sebagai pentahidrat Na2SO3.5H2O.
Larutan tidak boleh distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi
harus distandarisasi dengan larutan standar primer. Larutan Natrium Thiosulfat
tidak stabil untuk waktu yang lama (Underwood, 2011).
IODOMETRI DENGAN Na2S2O3
SEBAGAI TITRAN
(TITRASI TIDAK LANGSUNG)
Dalam
metode ini, analit dioksidasi oleh I2 sehingga I2
tereduksi menjadi ion iodida:
Ared
+ I2 → Aoks + I-
Yod
(I2) merupakan oksidator yang tidak terlalu kuat, sehingga hanya
zat-zat yang bersifat reduktor yang cukup kuat dapat dititrasi. Indikatornya
ialah amilum dengan perubahan warna dari tidak berwarna menjadi biru. I2
sebagai zat padat sukar larut dalam air yaitu hanya sekitar 0,0013 mol per
liter pada suhu 25OC tetapi sangat mudah larut dalam larutan KI
karena membentuk ion I3- sebagai berikut:
I2
+ I- → I3- (ion
triyodida)
Maka
larutan dibuat dengan KI sebagai pelarut. Larutan yod ini tidak stabil sehingga
standarisasi perlu dilakukan berulang kali. Ketidakstabilan Yod (I2)
disebabkan oleh:
1.
Penguapan yod
2.
Reaksi yod dengan karet, gabus, dan
bahan anorganik lain yang mungkin masuk dalam larutan lewat debu dan asap
3.
Oksidasi oleh udara pada pH rendah
(Harjadi, 1993)
III.
METODE
KERJA
IV.
RANCANGAN
ANALISIS
V.
HASIL
DAN PERHITUNGAN
VI.
PEMBAHASAN
Pada
percobaan ini, kami melakukan penetapan kadar Besi(III) Ammonium Sulfat pada
sampel A8 secara iodometri dimana pada iodometri ini yang khas sekali adalah
titrasinya dilakukan secara tidak langsung dan menggunakan Na2S2O3
sebagai titrannya.
Berikut
pembahasan bagaimana hasil percobaan yang kami lakukan :
A. Pembakuan
Na2S2O3
Natrium
tiosulfat yang digunakan untuk penetapan kadar Besi(III) Ammonium Sulfat
merupakan larutan baku sekunder yang konsentrasinya diperoleh dengan cara
menitrasi menggunakan baku primer. Larutan Na2S2O3
ini sifatnya tidak stabil untuk waktu yang lama, tidak mudah diperoleh dalam
bentuk murni, dan derajat kemurniannya rendah. Itulah alasan kenapa larutan Na2S2O3
perlu distandarisasi terlebih dahulu.
Sebenarnya baku
primer yang dapat digunakan untuk pembakuan Na2S2O3
ada beberapa pilihan seperti kalium iodat, kalium bromat, dan kalium dikromat.
Nsmun pada percobaan ini yang kami gunakan adalah K2CrO7.
Berikut reaksi yang terjadi:
K2Cr2O7
+ 6KI + 14HCl → 8KCl + 2CrCl3 + 3I2 + 7H2O
Cr2O72-
+ 6I- + 14H+ → 8KCl + 2Cr3+ + 3I2 +
7H2O
Fungsi penambahan KI
1. Sebagai
reduktor K2CrO7, KI sendiri akan mengalami oksidasi dan
hasilnya akan membebaskan I2 (sebagai sumber I2).
2. I2
yang dihasilkan sukar larut dalam air, hanya sedikit yang dapat larut
dalam air (0,00134 mol per liter pada 25oC. Namun agak sukar larut
dalam larutan yang mengandung ion iodida. Sehingga akan membentuk kompleks
trioksida dengan iodida:
I2
+ I- → I3-
3. KI
yang berlebih ini ditambahkan untuk meningkatkan kelarutan dan mengurangi
penguapan iodium. Hal ini dikarenakan titik penguapan I2 lebih kecil
dibandingkan dengan KI maupun senyawa kompleks iodin.
Fungsi penambahan HCl pekat
Untuk
memberikan suasana asam karena pada reaksi redoks antara K2CrO7
dan KI reaksi berjalan pada suasana asam dan dibutuhkan 14H+.
Setelah pencampuran selesai larutan dibiarkan
terlebih dahulu di tempat gelap atau terlindung dari cahaya matahari selama 10
menit. Tujuannya adalah agar pembentukan I2 berlangsung maksimal dan
mencegah peruraian I2 oleh cahaya matahari. Selain itu alasan mengapa
labunya perlu sekali ditutup yaitu untuk mencegah menguapnya I2
karena I2 sangat mudah menguap.
Penentuan titik akhir titrasi
Sebelum dititrasi larutan berwana jingga kecoklatan,
setelah ditetesi dengan Na2S2O3 secara
perlahan warnanya memudar dan lama-lama akan terlihat warna hijau kekuningan.
Warna hijau ini berasal dari ion Cr3+ hasil oksidasi dikromat.
Berikut
reaksi yang terjadi antara I2 yang dibebaskan dengan titran Na2S2O3:
I2
+ 2Na2S2O3
→ 2NaI + Na2S4O6
I2
+ 2S2O32-
→ 2I-
+ S4O62-
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan,
diperoleh volume Na2S2O3 yang dibutuhkan
hingga terjadinya warna hijau kekuningan yaitu sebesar 9,5 mL. Titrasi
dilanjutkan kembali setelah penambahan indikator kanji.
Alasan mengapa penambahan indikator kanji dilakukan
menjelang titik akhir titrasi (tidak dari awal) adalah agar kanji tidak
mengikat atau membungkus iodida yang menyebabkan sulit untuk lepas kembali
sehingga warna biru sulit untuk lenyap dan akhirnya mengganggu penglihatan
titik akhir.
Sebelum ditambah indikator kanji, jumlah I2
nya berlimpah dalam larutan dan lama kelamaan menjadi semakin berkurang seiring
dengan bertambahnya jumlah tetesan Na2S2O3.
Saat sisa I2 ini sedikit baru ditambah indikator kanji. Tanda bahwa dalam
larutan hanya tersisa sedikit, bisa dilihat dari warna larutannya yang kuning
pucat.
Kanji akan membentuk kompleks berwana biru tua
disebabkan iodium diabsorbsi oleh larutan kanji. Setelah dititrasi lagi warna
birunya akan hilang yang menunjukkan iodium telah habis semua dititrasi oleh Na2S2O3.
Volume Na2S2O3 hasil percobaan yang diperlukan
sampai warna biru hilang adalah sekitar 0,5 mL.
Didapatkan normalitas Na2S2O3
rata-rata dari 2 x replikasi hasil pembakuan yang dilakukan adalah sebesar
0,1065 N.
B. Penetapan
kadar Besi(III) Ammonium Sulfat
Besi(III)
Amonium Sulfat dapat ditetapkan kadarnya secara iodometri dengan titran Na2S2O3
yang sebelumnya telah distandarisasi. Prinsipnya sudah jelas, yakni reaksi
reduksi oksidasi. Dimana NH4(Fe)(SO4)2 yang
berperan sebagai oksidator akan mengoksidasi 2I- menjadi I2
dari KI. Karena KI teroksidasi maka KI disebut reduktor yang akan mereduksi Fe.
Berikut reaksi yang terjadi:
Fe3+ + e
→ Fe2+ × 2
2I-
→
I2 + 2e × 1
2Fe3+
+ 2I- → 2Fe2+ + I2
I2 hasil reaksi reduksi oksidasi antara NH4(Fe)(SO4)2
dan KI inilah yang kemudian dititrasi
dengan Na2S2O3. Titrasi dilakukan dengan 3 x
pengulangan (Replikasi). Pada dasarnya proses penetapan kadar NH4(Fe)(SO4)2
sama saja dengan proses pembakuan, sama-sama ditambah KI sebagai sumber I2
serta untuk melarutkan I2 karena sifatnya sukar larut dalam air.
Sama-sama berlangsung dalam suasana asam, sama-sama menggunakan labu iodin yang
bertujuan untuk mencegah I2 karena sifatnya yang sangat mudah
menguap pada suhu kamar. Selain itu sama-sama didiamkan terlebih dahulu sekitar
10 – 15 menit di tempat gelap, hal ini dikarenakan reaksi analit dengan KI
berjalan agak lambat. Namun yang berbeda adalah warna larutannya saat titik
akhir terjadi. Pada pembakuan Na2S2O3, setelah
penambahan indikator warna akhirnya jadi hijau kekuningan dari yang awalnya biru.
Sedangkan pada penetapan kadar, warna yang terjadi dari biru menjadi tidak
berwarna.
Selain titrasi sampel, juga dilakukan titrasi
blangko atau dengan kata lain titrasi tanpa sampel namun dengan perlakuan yang
sama persis seperti saat menyiapkan dan melakukan titrasi sampel. Jadi di dalam
labu iodin hanya terdapat KI, HCl, Aquadest, dan indikator. Secara teoritis,
tanpa adanya “NH4(Fe)(SO4)2“ tentu saja I2
tidak akan terbentuk karena tidak ada reaksi reduksi oksidasi yang terjadi
antara NH4(Fe)(SO4)2 dengan KI. Sehingga saat
ditambah indikator amilum, tentu tidak ada warna biru yang terbentuk karena
kompleks antara amilum dengan I2 yang menyebabkan terbentuknya warna
biru tidak ada. Hal ini berguna sekali untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh
dari zat-zat oksidator lain selama proses penetapan kadar. Dikhawatirkan ada
pengaruh oksigen (oxygen error) saat
titrasi yang dapat menyebabkan hasil titrasi menjadi terlalu tinggi karena
oksigen dapat mengoksidasi ion iodida yang juga menghasilkan I2
dengan reaksi:
O2
+ 4I- + 4H+ → 2I2 + 2H2O
Setelah dilakukan titrasi blangko, didapatkan
larutan yang tidak berwarna dan tetap tidak berubah setelah penambahan
indikator. Ini artinya selama reaksi, tidak ada pengaruh dari oksigen dan
zat-zat oksidator lainnya sehingga dapat dipastikan bahwa hasil reaksi yang
diperoleh adalah benar-benar dari zat yang diujikan.
Dalam penetapan kadar, sejak awal praktikan diminta
untuk menanyakan dan memastikan terlebih dahulu kepada laboran apakah NH4(Fe)(SO4)2
yang akan ditetapkan kadarnya itu dalam bentuk hidrat atau anhidratnya.
Ternyata dalam bentuk NH4(Fe)(SO4)2.12H2O.
Hal ini penting sekali karena berpengaruh besar pada perhitungan data.
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh kadar NH4(Fe)(SO4)2.12H2O
dalam sampel yang diuji (sampel diperoleh dari laboran) sebesar 57,27%; 54,30%;
dan 57,84% dengan rata-rata sebesar 56,47%.
VII.
KESIMPULAN
1.
Normalitas Na2S2O3
hasil pembakuan adalah 0,1065 N
2.
Kadar NH4(Fe)(SO4)2 dalam sampel uji adalah 56,47%.
VIII.
DAFTAR
PUSTAKA
Rohman,
Abdul (2015) ‘Kimia Farmasi Analisis’,
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Harjadi,
W (1990) ‘Ilmu Kimia Analitik Dasar’,
Jakarta: Gramedia
Khopkar,
S. M (1990) ‘Konsep Dasar Kimia Analitik’ Jakarta: UI PressMurstidi, Ahmad dan
Rohman, Abdul (2008) ‘Pengantar Kimia
Farmasi Analisis Volumetri dan Gravimetri’ Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada
Jenkins,
G. L. Grande, D. E. Brecht, E. A. Sperandio, B. J (1957) ‘Scovill’s the Art of Compounding 9th Edition’ New York:
McGraw Hill Book Company Inc
Anonim,
(1979) Farmakope Indonesia Edisi III’ Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Komentar